- Back to Home »
- NU , Sejarah , Tokoh »
- K. H. Muhammad Hasyim Asy'ari
Posted by :
Unknown
Jumat, 31 Mei 2013
K. H. Muhammad Hasyim Asy'ari adalah tokoh pendiri Nahdlatul 'Ulama (NU) yang merupakan Organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dikalangan Nahdiyin dan ulama pesantren, beliau dikenal sebagai Hadratusy-Syaikh yang berarti Maha Guru.
Muhammad Hasyim lahir pada hari Selasa Kliwon 24 Dzulqa'dah 1287 H bertepatan tanggal 14 Februari. 1871 M di desa Nggedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di
sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah (Winih). Dari garis ibu, Kiai
Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal
dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang
(keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Didalam masa kandungan dan kelahiran beliau, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukan kebesaran beliau diantaranya ketika Nyai Halimah bermimpi melihat bulan puranama yang jatuh dalam kandungannya dan ketika melahirkan tidak merasakan sakit seperti yang dirasakan wanita melahirkan.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21
tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah
pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk
menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan
ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang
telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir
seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak
di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih
berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci
Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra
yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati
itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.
empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang
ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai
dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya
penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah
lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu,
beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa
dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci,
kembali ke tanah air bersama mertuanya.
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi
pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali
ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah
dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah
suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih
menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat
bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa
untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim,
dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun
selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor
pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di
antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud
Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani
(dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib
Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada
di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang
nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal
untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai
mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang
diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan
dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri.
Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar
Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak
berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah
pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada
saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu
saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua
itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di
dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana
tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau
itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah
menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak
itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi
Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok
Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai
Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan
beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang
benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi
salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini
“Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan
yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari
seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh
PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng
yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan
orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang,
alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan
menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat
pondok pesantren.
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik
yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31
Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul
Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama K. H. Bisri Syamsuri, K. H. Wahab
Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya:
“Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam
Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas,
Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan
apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. K. H. Hasyim Asy’ari
terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang
pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan
mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang
tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut
pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa
beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih
besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah
atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia,
untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan
jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya
oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan
keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar
yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang
mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan
lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa
pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan
diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun
ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada
persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya
sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI)
NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu
partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran
NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan
Muktamar Situbono yang menghendaki NU sebagai organisasi sosial
keagamaan kembali pada khitohnya.
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan
dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan,
beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari
penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan
memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau
menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada
santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan
kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah
menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
- Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
- Harta benda yang berlimpah-limpah
- Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi beliau menolaknya bahkan berkata: “Demi
Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan
ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku
tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhirnya KH.M.
Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu
mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan
kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau
sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat.
Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam
tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik
Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim
dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan
di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari
terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia
(MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren
hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.
Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami
Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan
pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba
datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai
menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu
itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas
Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan
diberikan keesokan harinya
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan
kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang
kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…”
kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron
bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan
tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan
kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat,
sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak
lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak
sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak
berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang
berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan
dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan
otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun
Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat
pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal
07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela
sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat,
terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan,
para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam
telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau
di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat
dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata
sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
Keluarga K. H. Muhammad Hasyim Asy'ari
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317
H/1899 M), K. H. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri
Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini
kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
- Hannah
- Khoiriyah
- Aisyah
- Azzah
- Abdul Wahid
- Abdul hakim (Abdul Kholiq)
- Abdul Karim
- Ubaidillah
- Mashurroh
- Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali
denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren
Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua
dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
- Abdul Qodir
- Fatimah
- Chotijah
- Muhammad Ya’kub
Karya Kitab Klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang
beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri,
mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari
penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya,
pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata
berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi,
kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya.
Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul.
Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja,
diantaranya:
- Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
- Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
- Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
- Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
- Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
- Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
- Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
- Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan